Rabu, 11 Juli 2012

Krisis Gereja atau Krisis Tuhan ?


Krisis Gereja atau Krisis Tuhan?

Pengantar Penerjemah
Berikut ini adalah terjemahan hasil wawancara surat kabar
Die Zeit dengan Prof. Dr. Hans Küng, yang dimuat dalam edisi 26 Mei 2011, halaman 63. Die Zeit adalah salah satu surat kabar yang paling bermutu di Jerman. Saya menerjemahkan hasil wawancara ini selain karena saya sendiri menyukai pemikiran Küng dan pernah membaca beberapa bukunya, terutama yang memuat pemikiran teologi-filosofisnya, yakni Existiert Gott? , juga karena harapan agar kita semakin mengenal pemikiran dan keprihatinan Küng dan dengan demikian  barangkali kita akan terbantu untuk lebih memahami posisi dan tantangan gereja dewasa ini, tanggung jawab sebagai jemaat, dan rasionalitas iman.
Fitzerald Kennedy Sitorus
**
 Pengantar Redaksi
Hans Küng adalah pembangkang yang paling setia dalam gereja Katolik. Pria kelahiran Swiss 83 tahun lampau ini selalu menyulut perdebatan baru melalui buku-bukunya seperti „Unfelbar?“ (Tidak dapat salah?) atau Existiert Gott? (Apakah Tuhan Eksis?) Dalam usia 30 tahun ia telah menjadi profesor teologi di Universitas Tübingen, Jerman. Küng berjuang untuk Weltethos (Ethos Dunia) dan mendirikan yayayan dengan nama yang sama (www.weltethos.org). Bukunya yang terbaru „Ist die Kirche noch zu retten“ (Apakah gereja masih dapat diselamatkan?) memperlihatkan krisis gereja dan menganjurkan pembaharuan-pembaharuan mendesak.

Die Zeit: Herr Küng, mengapa Anda masih tetap anggota di gereja Anda?
 Hans Küng: Karena saya berakar secara mendalam di gereja Katolik. Saya menjadi anggota bukan karena adanya Kepausan Roma, tanpa itu pun saya tetap jadi anggota. Bagi saya, gereja itu adalah persekutuan orang percaya yang mencakup seluruh dunia dan telah berusia 2000 tahun. Saya meneliti sejarah persekutuan itu sepanjang hidup saya dan saya berkenalan dengan anggota-anggotanya dalam banyak perjalanan yang saya lakukan. Dalam krisis gereja sekarang saya memperoleh banyak surat yang menyentuh dari orang-orang Katolik dari seluruh dunia. Ada orang yang putus asa, mengatakan: Saya tidak dapat lagi bersama-sama dengan gereja ini. Yang lain ingin tetap menjadi anggota, agar dapat mengubah sesuatu, dan dia mengatakan: selama Anda masih menjadi anggota gereja, maka saya juga akan tetap menjadi anggota. Jadi saya akan mengecewakan banyak orang bila saya keluar dari gereja.
 Die Zeit: Mengapa Anda tidak pindah ke Protestan?
 Hans Küng:  Saya memiliki banyak kepedulian yang sama dengan gereja Protestan, tapi saya tidak merasa at home di sana. Terutama, kalau saya pindah ke sana, itu berarti saya melucuti diri saya sendiri. Karena musuh-musuh saya akan berkata: kita dapat menganggap dia telah hilang, dia tidak lagi bagian dari kita. Dan, dengan demikian, saya telah mengundang banyak persoalan baru bersama-sama dengan Protestan.
 Die Zeit: Anda beribadah di gereja mana?
 Hans Küng: Saya biasanya mengikuti ibadah di jemaat orang-orang Swiss di Sursee, kampung halaman saya. Saya tidak punya tanggung jawab resmi di jemaat tersebut tapi karena kekurangan pastior saya meresa wajib mendukung perayaan Eukaristi. Selama lebih dari 100 tahun jemaat Sursee selalu punya empat pastor yang ditahbiskan – sekarang hanya dua pensiunan. Memang ada juga „pastor pengganti“ Markus Heil sebagai ketua jemaat. Dia didukung dan disukai oleh jemaat, tapi dia hanya dapat menjadi Diakon (pembantu pastor). Mengapa? Karena dia menikah! Masalah pastor ini menimbulkan frustrasi justru bagi anggota jemaat yang aktif. Jemaat menganggap bahwa klerus yang selibat  itu dianggap sudah tidak berlaku lagi. Tapi tampaknya Vatikan tidak mempedulikan hal itu. Melalui politik restorasinya mereka telah membuat jemaat kami gersang.
 Die Zeit: Orang-orang Katolik yang marah pada basis gereja sekarang berteriak: Yesus mengkhotbahkan Injil dan bukan gereja. Apakah Anda menyetujui pernyataan ini?
 Hans Küng: Pernyataan itu pada prinsipnya benar, karena Yesus tidak mendirikan gereja dalam arti institusional; gereja didirikan oleh sebuah Gerakan-Yesus yang tetap bertahan setelah kematian-Nya. Bahkan Yesus juga hampir tidak menggunakan kata gereja. Dia mewartakan Kerajaan Allah: „Bapak Kami yang di Sorga, datanglah kerajaanmu…“
 Die Zeit: Gereja mungkin dapat ditinggalkan, dengan mengatakan: tidak ada gereja yang dapat meruntuhkan Kerajaan Allah. Dalam sejarah selalu ada zaman di mana gereja menjadi kaku dan beku.
 Hans Küng: Ya, perjuangan untuk menentukan haluan itu selalu ada.  Itu telah dimulai dengan perdebatan antara dua rasul utama, yakni Petrus dan Paulus, yang harus mewartawakan Injil dalam sebuah dunia yang dipengaruhi Helenisme. Pergantian paradigma kedua terjadi bersamaan dengan migrasi masyarakat, ketika Injil datang ke Jerman. Kemudian muncullah Martin Luther, yang menuntut agar gereja yang dekaden saat itu kembali kepada Injil. Karena resistansi  pimpinan gereja Roma akhirnya terjadilah perpecahan. Tragedi gereja Katolik terletak dalam kenyataan bahwa sampai hari ini dia masih mempertahankan struktur abad pertengahan.
 Die Zeit: Tapi pada awal tahun 1960-an gereja ingin memodernisasi dirinya, dan Anda waktu itu terlibat di situ. Pada Konsili Vatikan Kedua di Roma ada dua orang peserta termuda, bernama Hans Küng dan Joseph Ratzinger. Orang menyebut Anda berdua waktu itu „Teolog-remaja“ (Teenager Theologen). Anda sendiri memulai revaluasi atas Alkitab dan Gereja-Gereja Timur dan juga struktur gereja yang bersifat kharismatis. Apakah Konsili yang terkenal ini sama sekali tidak punya dampak apa-apa?
 Hans Küng: Ada juga. Vatikan ingin mengejar ketertinggalan mereka dalam perubahan dua paradigma:  Reformasi dan Pencerahan. Sayangnya itu hanya berhasil separoh. Sejak itu kami (gereja Katolik) jadi memiliki awam yang aktif, terutama perempuan, dan dapat merayakan ekaristi dalam bahasa lokal. Kami memiliki sebuah pendirian baru, yang menandai sebuah zaman baru, terhadap Yahudi dan dunia modern, yang sebelumnya kami kutuk. Sekarang ini orang di Roma berbicara secara positif mengenai demokrasi dan kebebasan beragama. Namun Reformasi penting masih belum terjadi juga, dan itu dulu telah membuat saya dongkol:  sikap terhadap pencegahan kehamilan dan perceraian, terhadap perayaan perjamuan kudus bersama-sama dengan Protestan dan terhadap reformasi kepausan. Dulu ada beberapa hal yang tidak boleh dibicarakan, misalnya tentang selibat.
 Die Zeit:  Paus Paulus VI yang reformis dan disukai banyak orang itu dulu menegur Anda agar lebih menahan diri di hadapan publik. Tapi pada dasarnya dia bersikap simpatik terhadap Anda.
 Hans Küng: Ya, dia juga melindungi saya. Selama dia hidup, saya tetap aman. Tapi ketika Paus orang Polandia itu datang, situasinya menjadi tidak menyenangkan.
 Die Zeit: Hingga pada saat itu Kongregasi Iman hanya memperingatkan Anda berdasarkan tuduhan „Pelepasan diri dari Tradisi Kepercayaan Gereja.“ Kemudian Karol Wojtyla menjadi Paus tahun 1978, dan tahun 1979 Roma membatalkan izin mengajar (Missio Canonica) Anda, terutama karena keraguan Anda atas dogma bahwa Paus tidak mungkin dapat salah (die Unfehlbarkeit des Papstes).  Mengapa Anda sekarang tidak berdiri pada pihak sekutu Anda dulu, yakni Ratzinger?
 Hans Küng: Karena di bawah Paus Johannes Paulus II dan mitra kerjanya yang paling dekat, yakni Joseph Ratzinger, terjadilah sebuah periode restorasi yang membawa kita semakin jauh ke dalam krisis. Setelah Konsili Vatikan Kedua, teolog besar konsili, Karl Rahner, menciptakan istilah „Gereja yang berada dalam musim dingin“ (winterlichen Kirche) dan mengkritik mentalitas feodalistis dan paternalistis dari para bishop. Sekarang ini kata „musim dingin“ tersebut kedengarannya masih terlalu optimis karena setelah musim dingin musim semi akan datang. Karena itu, dalam buku saya yang baru, saya mendiagnosa gereja yang sakit, dan yang saya maksudkan dengan itu adalah struktur yang abnormal: monopoli kekuasaan dan kebenaran yang terpusat di Roma, juridisme dan klerikarisme, sikap bermusuhan terhadap perempuan dan penolakan atas reformasi.
 Die Zeit: Orang-orang Katolik konservatif takut, jika gereja melepaskan aturan-aturan lama dan bentuk-bentuk yang telah menjadi tradisi maka gereja akan terpecah-pecah.
 Hans Küng:  Kekuatiran itu dapat dipahami, tapi itu tidak berdasar. Sebuah tradisi yang hidup hanya bisa hidup dari perubahan. Saya juga menghargai tradisi, tapi saya bukan tradisionalis, karena hal-hal yang kuno tidak bernilai pada dirinya sendiri. Di balik liturgi-liturgi ibadah yang  mengagumkan itu terlalu sering tersembunyi kekristenan tradisional yang telah menjadi dangkal. Di balik „Gereja Roma  Yang Suci“ terdapat sebuah aparat kekuasaan dan keuangan yang beroperasi dengan cara yang paling duniawi. Dan di dalam sistem-sistem teori yang dogmatis itu tersembunyi banyak aliran teologi yang tidak alkitabiah, yang tidak dapat lagi dijangkau oleh manusia zaman sekarang.
 Die Zeit:  Apa yang menurut Anda bernilai untuk dipertahankan dari gereja?
 Hans Küng: Yang tetap dipertahankan tentu saja kebenaran. Tidak kurang dari situ. Tapi tradisi bukanlah kriterium kebenaran, dan Kekristenan tidak memperlihatkan dirinya pada bentuk-bantuk lahiriah. Kekristenan adalah persekutuan yang hidup dari orang-orang percaya, orang-orang yang berpengharapan dan kasih dalam peniruan Kristus.
 Die Zeit: Tapi mengapa kalangan Neo-Klerikal itu sedemikian ngotot atas „kebenaran“ mereka? Apa yang mereka takutkan?
 Hans Küng: Kebebasan, dan tanpa kebebasan kebenaran tidak mungkin ada. Zaman di mana gereja memonopoli kebenaran telah lewat. Sungguh sebuah kekeliruan yang tragis mengatakan bahwa orang dapat mempertahankan kebenaran kepercayaan melalaui kekuasaan. Orang harus berjuang untuk memenangkan manusia. Sejak ilmu pengetahuan modern, teknologi dan kebudayaan berada dalam krisis, maka kita berada dalam transisi menuju pascamodern. Ide-ide seperti kemajuan, akal budi/rasio dan bangsa (Nation) telah kehilangan daya tariknya. Manusia tidak hanya menjadi kritis terhadap kemajuan, tapi juga terhadap ideologi. Masyarakat memahami dirinya, termasuk dalam urusan agama, sebagai warga yang dewasa.
 Die Zeit:  Mengapa gereja tidak merespon hal tersebut?
 Hans Küng: Karena ia merana di bawah sistem Roma yang absolutis itu. Kasus-kasus penyalahgunaan seksual di gereja dan upaya sistematis untuk menutup-nutupinya bukanlah penyebab krisis, melainkan konsekuensi dari krisis itu. Paus Benediktus mengatakan bahwa, dalam abad 21 sekarang, ia sendiri dapat memutuskan  apakah orang boleh mengkonsumsi pil (untuk mencegah kehamilan), apakah kondom diijinkan, apakah pastor boleh menikah…Bahkan Raja Louis XIV saja tidak secongkak  itu.
 Die Zeit: Apakah Anda dapat membayangkan sebuah iman Katolik tanpa gereja?
 Hans Küng: Dalam kasus-kasus tertentu, itu telah terjadi. Tapi terhadap sebuah institusionalisasi yang rasional saya sama sekali tidak keberatan. Tapi ketika sebuah sistem pelayanan terperangkap dalam sebuah sistem kekuasaan dan ketika orang-orang yang seharusnya menjadi pemimpin pelayanan menjadi pemilik kekuasaan, maka orang tidak lagi mendasarkan dirinya kepada Yesus dari Nazaret. Karena Dia yang mengatakan: siapa di antara kamu ingin jadi yang terbesar, maka jadilah pelayan untuk semua. Kata Diakonia, pelayanan, dalam Injil diterjemahkan ke dalam enam konsepsi yang berbeda. Sebaliknya, kata hirarki, sebagai kekuasaan suci, baru muncul 100 tahun kemudian, dan merupakan kebalikan dari Diakonia. Kepausan abad pertengahan itu adalah murni ideologi.
 Die Zeit: Seandainya Paus ada di sini, maka dia akan mengatakan, „Tuan Küng yang tercinta, kita memang bersama-sama waktu itu berjuang untuk keterbukaan gereja terhadap dunia, tapi  hal itu telah membuat gereja menjadi lemah. Dan seperti yang selalu terjadi, permusuhan terhadap gereja sedemikian kuat.“
 Hans Küng: Dengan segala hormat, saya menentang itu Bapa Suci, Tuan Ratzinger yang tercinta, karena itu adalah pemutar-balikan fakta. Dengan Konsili Paus Johannes XXIII pada awal tahun 60-an persahabatan gereja dengan masyarakat jauh lebih besar daripada sebelumnya.
 Die Zeit: Banyak orang Katolik yang menangis seperti anak-anak ketika Paus tersebut meninggal dunia.
 Hans Küng: Waktu itu, menjadi Katolik adalah sebuah kegembiraan. Waktu saya memberikan kuliah pertama yang menandai masuknya saya ke Universitas Tübingen tahun 1960, aula universitas itu penuh. Waktu itu dunia milik kita. Kepercayaan kita (terhadap gereja) mulai terganggu dengan keluarnya „Konsili Pil“ tahun 1968, tapi hal itu lama tertutupi melalui sambutan meriah dari media atas manifestasi gereja yang saat itu masih jaya. Tapi sekarang kita menerima resikonya. Sekarang hanya 54 persen dari orang Jerman Katolik yang merasa memiliki ikatan dengan gerejanya, dan dua per tiga dari jumlah itu berada dalam krisis. Tahun lalu sekitar 250 ribu Katolik di seluruh Jerman keluar dari gereja, dua kali lebih banyak dibandingkan tahun sebelumnya.
 Die Zeit: Sekalipun demikian tidakkah orang dapat berkata bahwa keterbukaan gereja terhadap dunia itu membuat gereja terancam oleh sekularisasi? Bagaimana pun argument ini harus dilihat dengan serius.
 Hans Küng:  Orang tentu saja tidak boleh menggantikan Injil dengan pedagogi sosial atau partai politik. Saya selalu menentang pendapat yang mengatakan bahwa gereja hanya perlu membeo terhadap tuntutan reformasi dunia. Gereja memiliki fungsi profetis untuk memperjuangkan keadilan, kebenaran dan kemanusiaan. Dan gereja juga memiliki fungsi spritual, membantu manusia memperoleh pengalaman yang jauh melampaui dunia batin.
 Die Zeit: Apakah Anda dulu ingin menjadi Paus?
 Hans Küng: Pertanyaan ini tidak pernah diajukan kepada saya. Paus Paulus VI mengundang saya untuk menjadi pelayan di Gereja Roma. Saya juga ingin ikut melayani, tapi hanya sebagai reformator dan bukan untuk melakukan stabilisasi atas sistem.
 Die Zeit:  Berdasarkan model penjelasan dunia yang tertutup itu tidakkah gereja Katolik memiliki kecenderungan yang berbahaya untuk menjadi totaliter?
 Hans Küng: Tidak. Sesuai dengan hakikatnya gereja Katolik tidak totaliter. Tapi sistem kekuasaan dan sistem pengajaran gereja Roma bersifat otoriter, dan dengan sarana yang totaliter. Karena dia menuntut identifikasi total dengan paus.
 Die Zeit: Orang dapat mengatakan bahwa dunia modern telah jatuh ke tangan iblis dan hilang tanpa dapat lagi diselamatkan, tapi gereja adalah batu karang terakhir dalam hempasan badai ini.
 Hans Küng: Ah, dunia modern memiliki banyak sisi, dan batu karang Roma itu sendirilah yang keropos. Coba lihat favoritisme di Roma, intrik-intrik pengadilan, skandal bank-bank Vatikan, inkuisisi yang berlangsung terus dan terakhir upaya untuk menutup-nutupi penyalahgunaan seksual.
 Die Zeit: Paus mungkin akan mengatakan semangat liberal tahun 1968 telah menjangkiti pastor-pastor kita. Oleh karena itu kita menjadi berdosa.
 Hans Küng: Tapi tentu saja hal ini tidak berhubungan dengan shock  tahun 68 karena revolusi mahasiswa di Tübingen. Penyalahgunaan wewenang oleh para aparat gereja tidak ada hubungannya dengan liberalitas dan juga dengan semangat tahun 68. Hal ini menyangkut penyalahgunaan yang buruk dari seksualitas yang direpresi, dan menyangkut sebuah sistem yang mengundang munculnya situasi demikian dan akhirnya secara sistematis menutup-nutupinya.
 Die Zeit: Sementara itu para pimpinan gereja berbicara mengenai dialog. Apa pendapat Anda mengenai hal itu?
 Hans Küng: Dialog yang sungguh-sungguh tentu saja baik. Tapi sekarang sedang direncanakan sebuah proses dialog yang berlangsung selama 4 tahun, dengan langkah awal di Mannheim pada tanggal 8 dan 9 Juli. Itu sebuah Déjà-vu: persis 40 tahun lalu para bishof diundang untuk sinode yang berlangsung selama 4 tahun. Tapi orang-orang katolik Jerman ditipu mengenai hasilnya. Semua tuntutan-tuntutan reformasi hanya disembunyikan di dalam laci. Apakah kita setelah 40 tahun kemudian ingin hal yang sama kembali dibicarakan?
 Die Zeit: Tapi reformasi masih tetap ditunggu-tunggu.
 Hans Küng: Ya, tapi kita tidak harus mendiskusikan itu sekali lagi selama 4 tahun.
 Die Zeit:  Siapakah yang dapat melaksanakan reformas itu?
 Hans Küng: Semua pendukung reformasi secara bersama-sama: gerakan gereja rakyat, inisiatif-inisiatif gereja basis, inisiatif forum-forum publik pembaca, gerakan pengusaha Katolik…tapi juga para pastor yang menghendaki pembaharuan, teolog dan politisi. Semua harusnya menjadi sebuah komunitas aksi.
 Die Zeit: Dan apakah yang terkandung dalam program aksi itu?
 Hans Küng: pertama-tama empat hal utama yang mendesak. Pertama: selibat berdasarkan kesukarelaan, Kedua: Perempuan dalam struktur gereja. Ketiga: persekutuan perjamuan kudus bersama-sama dengan Protestan. Keempat: orang yang menikah kembali setelah bercerai diizinkan untuk mengikuti ekaristi.
 Die Zeit: Tapi hal itu bukanlah pertanyaan sentral dalam iman kekristenan.
 Hans Küng: Kenyataannya hal itu adalah hambatan utama yang terdapat dalam jalan menuju Tuhan, yang dirintangi oleh gereja. Karena itu kita harusnya tidak berbicara mengenai krisis Tuhan, melainkan krisis gereja.
 Die Zeit: Dan bagaimanakah program itu dilakukan?
 Hans Küng: Caranya,  kita buka mulut dan menggunakan semua media, termasuk internet. Contohnya: politisi CDU yang berpengaruh menuntut secara terbuka penghapusan kewajiban selibat. Lebih dari 300 teolog telah menandatangani  memorandum reformasi mengenai hal itu. Para bishop mestinya memperhatikan hal itu agar tidak berlanjut terus. Mungkin ada juga di antara mereka beberapa orang yang berani. Vatikan telah mengeluarkan keputusan menghebohkan mengenai re-evaluasi ibadah dalam bahasa Latin, dan sebuah komisi gereja berdasarkan otoritas mereka telah mengajukan keberatan terhadap para bishof menyangkut keputusan tersebut. Para bishof mestinya mewakili tuntutan-tuntutan jemaat dalam berhadapan dengan gereja Roma, dan bukan sebaliknya.
 Die Zeit: Apakah ini sekarang revolusi atau reformasi?
 Hans Küng: Label-label seperti itu bagi saya tidak penting. Bagaimana pun harus ada reformasi mendasar di gereja. Dalam hal ini saya tidak ingin dari professor menjadi agitator. Tapi saya punya tanggung jawab sebagai guru bagi gereja saya untuk mengidentifikasi masalah dan menjelaskan penyebabnya. Saya tidak ingin meratapi, melainkan berargumentasi.
Die Zeit: Apakah Anda memahami kekuatiran banyak teolog universitas dalam melancarkan kritik keras agar mereka tidak sampai seperti Anda yang kehilangan izin mengajar?
Hans Küng: Saya memahami kekuatiran mereka itu karena saya mengenal mereka. Tapi dalam memoradum itu banyak teolog yang memberanikan diri atau „berbahagia“ – terutama karena ada juga perempuan yang mempelopori memorandum itu – dan mereka telah memperlihatkan bahwa orang dapat berbicara bersama-sama dan dengan tegas.
Die Zeit: Tapi memorandum itu dirumuskan dengan sangat halus, dengan banyak embel-embel lembut yang tidak perlu.
Hans Küng: Memang banyak orang yang berharap bahwa para teolog ini dapat menunjukkan keberanian sipil yang lebih besar lagi, terutama karena para profesor orang Jerman secara hukum lebih terlindungi dibandingkan yang lain. Ini juga berlaku untuk para bishof. Di Roma orang hati-hati untuk secara serius menyerang seorang bishof terutama yang berkebangsaan Jerman.
 Die Zeit: Haruskah orang percaya kepada Tuhan untuk menyelamatkan gereja?
 Hans Küng: Siapa yang takut kepada reformasi ia pada dasarnya memiliki sedikit kepercayaan kepada Tuhan. Siapa yang percaya kepada Tuhan, ia dapat menyeberangi lautan luas. Dia tahu bahwa dia tidak akan hancur oleh badai. Itu seperti cerita mengenai Petrus yang berjalan di atas air. Dia dapat berjalan di atas air asal saja ia memandang kepada Tuhan yang menyongsongnya dan bukan kepada badai. Begitu dia memandang kepada ombak, ia tenggelam.
 Die Zeit: Apakah Anda tidak pernah takut kepada badai?
 Hans Küng:  Pernah juga. Tapi saya bersyukur karena kepercayaan saya tetap tidak tergoyahkan oleh semua badai itu: bukan kepercayaan pada institusi gereja, melainkan iman yang percaya pada Yesus Kristus, pribadinya dan perbuatan-perbuatannya, yang telah melayani  gereja. Saya berharap bahwa Dia tetap memelihara saya.
 Die Zeit: Apa yang Anda katakan kepada orang yang tidak percaya?
 Hans Küng:  Mengapa harus tidak ada kenyataan yang tidak terbatas, sebagai dasar penjelasan bagi semua hal yang terbatas, bahkan proses evolusi? Mengapa eksistensi kita harus berakhir dalam ketiadaan?  Kita sekarang berada di dunia ini – mungkin kita akan mati dan masuk ke dalam ketiadaan, tapi mungkin juga ke dalam sebuah kenyataan terakhir, dalam dimensi ketidakterbatasan yang sesungguhnya, di luar ruang dan waktu, keabadian.  Saya gembira bahwa saya dapat menerima hal itu dalam kepercayaan yang masuk akal. Namun seandainya saya salah, saya mungkin telah hidup dengan cara yang lebih bermakna dibandingkan orang yang berkata: saya tidak tahu dari mana saya datang dan ke mana saya pergi, pada dasarnya semua ini absurd.
 Pewawancara: Thomas Assheuer dan Evelyn Finger.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar